Edukreatif.id, WONOGIRI – Be creatives to be beyond limits adalah semboyan dari SD MUHIBA Wonogiri sehingga tak heran apabila banyak siswa-siswinya yang memiliki kreativitas tanpa batas. Hal ini tentu terjadi karena sekolah membudidayakan lingkungan sejuta kreasi bagi peserta didiknya. Itu semua tak terlepas dari pihak guru yang turut mendukung dan mengarahkan potensi peserta didik pada hal-hal yang positif misalnya, pemanfaatan kardus bekas menjadi kerajinan kipas tangan.
Olah karya ini dilakukan selain untuk mengasah kreativitas juga mengajarkan anak untuk belajar mencintai diri sendiri lewat karya yang mereka buat. Goresan warna demi warna merupakan suara terpendam yang ingin mereka teriakan pada dunia. Mulai dari warna primer tegas hingga semburat gradasi bercampur kepucatan, sampai pada warna gelap total tiada kesejukan mewakili identitas mereka. Itulah seni, tidak peduli apa warnamu-kita tetap jadi satu.
Seperti penulis yang menjadi guru baru di SD ini, penulis semakin banyak belajar dan mendapat pengalaman yang berwarna-warna. Orang dewasa tahu bahwa setiap anak, setiap dari kita, manusia yang lahir kedunia membawa seleranya masing-masing. Oleh sebab itu, orang dewasa jarang mudah menyalahkan-meski sebagian besarnya tak demikian. Orang dewasa yang tumbuh tanpa warna cenderung akan menjadi bijaksana melihat warna yang dialunkan anak-anak.
Seni yang penulis yakini melegitimasi dirinya bahwa setiap karya tangan adalah seni rupa. Demikian bijaksananya seni dalam menerima rupa-jenis keanekaragaman karya manusia. Lebih dari itu, seni mencoba mengajarkan pada kita barang tak berharga sekalipun akan menjadi bernilai di tangan orang punya selera, begitulah jika kardus bekas dijual dirongsokkan akan dihargai perak namun akan beralih menjadi bernilai mahal jika diolah menjadi kipas tangan yang estetik (indah dipandang mata). Banyak orang yang tak paham akan bedanya harga dan nilai. Semudah contoh di atas cara untuk membedakanya, harga hanyalah angka sedangkan nilai tak akan pernah bisa dinominalkan, itulah arti proses yang membentuk hasil yang berbeda. Ustadz felix dalam podcastnya ‘Belajar Islam lewat logika?’ mengatakan bahwa ujung atau hasil itu nggak penting, yang terpenting kita sedang menuju ke arahnya.
Adakah batas dalam kreativitas? Batas dari kreativitas adalah membatasi diri. Enam dari sepuluh anak ragu-ragu melangkahi dirinya sendiri, artinya mereka terjebak pada zona nyaman. Zona ini mengurung mereka pada keraguan, iri pada kemampuan orang lain hingga yang paling jauh menyerah dengan keadaaan diri. Padahal nenek buyut kita pelaut maksudnya bagaimana jika seorang pelaut menyerah, ia akan mati. Satu-satunya cara atau harapan hidup adalah dengan terus berani mencoba. Seperti kata karakter anime yang satu ini, ia pernah bilang seperti ini “hanya satu yang tidak bisa aku lakukan yaitu menyerah”. Soal bagus atau tidak dalam karya seni itu hanya permasalahan selera, tak semua orang memiliki selera bagus bung. Itulah pentingnya be yourself and create your own happiness.
Dari karya tersebut, peserta didik mulai belajar menjadi diri sendiri. Meski hasil olah karyanya sama yakni kipas tangan namun tetap menyiratkan nilai yang berbeda-beda sebab dilahirkan dari tangan yang berbeda pula. Pemilihan warna pada karya mampu mempresentasikan nilai diri dengan karya seni yang mereka ciptakan. Berani berbeda itu perlu. Jika dahulu kala ada istilah perempuan hanya konco winking, sekarang tidak lagi. Dunia abad ini mendorong kaum perempuan juga untuk ikut serta berdampak. Agama kita Islam juga telah menegaskan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat. Sejalan dengan itu ajang kreatifitas seperti ini telah ada sekian lama dan menjadi budaya di SD MUHIBA Wonogiri. Yayasan Muhammadiyah telah berkomitmen dengan semboyan perempuan berkemajuan hingga kelak harapannya lewat karya-karya ini peserta didik mendapat pesan tersirat dan kegiatan olah karya ini dapat menjadi pembelajaran sepanjang hayat.
Pemanfaatan kardus bekas ini secara lahiriyah hanya kegiatan potong-memotong dan mewarnai. Namun, seperti penjelasan di atas lebih jauh, olah karya ini juga merupakan olah rasa. Dimana para ‘senimannya’ mengolah dan menuangkan ide kreativitas dalam dirinya ke karya kipas tangan motif yang mereka buat. Konon katanya, karya seni mampu melepas stress dan membebaskan seseorang yang tengah dilanda kesedihan yang berkepanjangan. Penelitian ini telah dilakukan oleh Fauziyyah dan Putri (2020) dengan judul Art Therapy sebagai Penyalur Emosi Anak. Dari penelitian tersebut telah terbukti bahwa seni banyak membantu para pengidap mental illness.
Mata pelajaran muatan lokal seni rupa ini ada di sekolah-sekolah dasar hingga jenjang menengah dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam melahirkan ide/gagasan yang orisinil, tidak berpaku pada standar awam. Tidak bisa kita pungkiri, banyak ketakutan dalam diri anak jika ia merasa berbeda dengan temannya. Hal ini akan berpengaruh pada Ketidaksempurnaan anak dalam mengexplore dirinya. Untuk itu perlu disadarkan bahwa pelangi terlahir dari warna yang berbeda-beda. Lalu mengapa jika masih kita dapati anak tetap sekekeh itu ingin serupa dengan temannya. Jangan-jangan ini terjadi sebab orang dewasa yang gagal menghargai potensi yang dimiliki anak. Atau barangkali sistem merusak pola pikir hingga menjarah pola sikap yang membuat kekacauan di dunia anak sehingga anak tidak berani mencoba, anak takut dicela dan sebagainya. Muncul pertanyaan baru di benak penulis, Dimana ruang aman untuk anak bisa menjadi dirinya sendiri tanpa menemui kata diskriminasi?
Padahal manusia mana yang lahir tanpa cela? hingga ada kata semoga dalam retakmu mekar bunga segar. Dengan demikian kita sebagai seorang guru, ibu, kakak, dan seorang teman hendaknya juga belajar dari anak-anak. Berikut tiga pelajar penting, (1) mampu mengolah barang tak berguna menjadi karya seni yang mahal, (2) mampu mengasah potensi diri untuk kebermanfaatan pada umat, dan (3) mampu menjadi diri sendiri ditengah standar dunia yang tak lagi bisa ditoleransi.
Penulis: Pratiwi Yulia Saputri
Leave a Reply